Saturday, November 30, 2019

Presiden 1 Periode 8 Tahun Dinilai Paling Tepat

Guru besar hukum tata negara IPDN Prof Juanda mengomentari wawasan amandemen UUD 1945 berkaitan menambahkan waktu jabatan presiden jadi tiga periode. Juanda memandang waktu jabatan presiden satu periode sepanjang delapan tahun paling pas.

"Menurut saya, paling pas ialah jika betul-betul mengatur negara ini dalam kerangka bagaimana presiden kita bisa mengatur negara ini dengan waktu yang benar-benar pas, saya anggap bisa 7 tahun atau 8 tahun satu periode contohnya," kata Juanda dalam diskusi masalah di Hotel Ibis Tamarin, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11/2019).



Ia mempermasalahkan argumentasi fundamen wawasan waktu jabatan presiden tiga periode. Wawasan itu, menurutnya, ada kebutuhan politik barisan tersendiri sebab tidak senang dengan waktu jabatan presiden dua periode.

Baca Juga : Biaya Kuliah UNESA

"Saya lihat ini ialah contoh kita menjelaskan ini dua periode atau tiga periode. Tiga periode argumentasinya apa? Argumentasi mendasarnya apa? Saya lihat di tempat ini ada tendensius politik barisan untuk agar, 'Ah, ini dua periode tidak cukup', agar jadi tiga periode," jelas ia.

"Jika tiga periode berarti pasti meskipun itu kelak telah jadi hak tiap orang seperti Pak Jokowi bisa saja nyalon, Pak SBY masih dapat serta seterus-terusnya, saya anggap ini kita main-main dalam mengatur negara," sambung ia.

Selain itu, Wasekjen DPP PPP Bagian Hukum Ade Irfan Pulungan menjelaskan tidak lihat kebutuhan politik untuk Pemilihan presiden 2024 dalam wawasan waktu jabatan presiden tiga periode. Menurutnya, jabatan presiden cukup dua periode supaya bisa memberi peluang pada generasi baru.

"Saya tidak sepakat dengan kembali pada menilai waktu jabatan presiden ini. Cukup dua periode jabatan presiden agar ada pergantian, agar ada perbaikan, serta kita lihat beberapa orang yang punyai potensi untuk mengatur negara ini," papar Irfan.

Periset senior LIPI Siti Zuhro menyepakati gagasan amandemen UUD 1945 tentang hidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Siti memandang GBHN dihidupkan kembali supaya pembangunan nasional serta wilayah sinergis.

"Satu bagian mengenai haluan negara yang penting sebab memang semenjak masa otonomi wilayah yang diaplikasikan 2001 itu, rasa-rasanya untuk hubungkan atau membuat kolaborasi pembangunan nasional serta pembangunan wilayah," kata Siti dalam diskusi masalah 'Membaca Arah Amandemen UUD 45' di Hotel Ibis Tamarin, Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11/2019).

Ia mengharap amandemen UUD 1945 sekarang butuh dievaluasi sebab masih memiliki banyak kekurangan. Saran gagasan amandemen UUD 1945 harus menimbulkan wawasan menerbitkan kembali GBHN.

Baca Juga : Universitas Negeri Surabaya

"Saran amandemen itu harusnya mengusung rumor penting apa itu, jadi tidak bisa kerjakan seperti dusta antara kita. Jadi tema yang ditampilkan GBHN-nya saja, walau sebenarnya GBHN itu berkaitan langsung dengan MPR, kelak payung hukumnya apa," katanya

Siti memandang sekarang pembangunan nasional serta wilayah tidak sinergis. Bila ada GBHN, visi-misi presiden serta kepala wilayah dapat sinergis.

"Jadi tidak bisa visi-misi presiden, gubernur, bupati tidak menyambung, jadi ingin dibawa ke mana Indonesia," katanya.

No comments:

Post a Comment